Sabtu, 12 November 2011

Kota Suci Peureulak


Peureulak merupakan kota tua, yang lebih dikenal dengan sejarahnya yang gemilang di Dunia Islam Asia tenggara khususnya Indonesia.Bandar khalifah.itulah nama awal pertama daerah Peureulak tepatnya di desa Paya Meuligoe, tempat Kerajaan Islam pertama Asia Tenggara pada tahun 225 H dengan Raja pertamannya Sayyed Maulana Abdul Aziz Syah. 

Bandar Khalifah yang dulunya merupakan kota Perdangan antar bangsa seperti gujarat (India) Arab dan persia serta sebagian negara-negara Eropa seperti inggris, Perancis, Belanda, Portugis dan lain-lain.


Awal perkembangan dan penyebaran Islam bermula dari Bandar Kahalifah (Paya Meuligo Sekarang) yang di sebarkan Oleh para Ulama-ulama dari peureulak dan dari Daerah lainnya.sehingga Agama Islam di Asia Tenggara berkembang dan menyebar dari bandar Khalifah yang kemudian menjadi Peureulak.

Pada tahun 1980 di Kuala Simpang dimana para ahli sejarah berkumpul dalam sebuah forum ilmiah untuk membedah sejarah Islam. Peristiwa bersejarah itu diberi tema: Seminar Sejarah Masuk Dan Berkembangnya Islam Di Aceh Dan Nusantara, yang dihadiri oleh sejarahwan dan budayawan dari dalam dan luar negeri. Berdasarkan data yang tersedia sebanyak 199 orang turut serta dalam acara yang diprakarsai oleh Ali Hasjmi tersebut, termasuk Prof. DR. HAMKA. Dari seminar tersebut dilahirkan beberapa kesimpulan, di antaranya: Peureulak adalah daerah pertama masuknya Islam di Nusantara, bahkan menjadi kerajaan tertua di Asia Tenggara yang dimulai  dengan diproklamirkannya kerajaan Peureulak oleh sultan Said Maulana Abdul Aziz Syah pada tahun 225 Hijriah bertepatan dengan 840 Masehi.
Dengan dikeluarkannya hasil seminar tersebut dengan sendirinya mengukuhkan bahwa kerajaan Peureulak lebih tua dari kerajaan Pasai (Pase) yang baru dimulai pada abad ke 11 Masehi. Untuk memugar kembali situs sejarah Peureulak yang telah lama terbengkalai, seminar merekomendasikan untuk dibangun sebuah monumen sejarah, untuk itu perlu dibentuk sebuah badan yang bekerja khusus untuk program tersebut yang diberi nama Yayasan Monumen Islam Asia Tenggara disingkat dengan MONISA.
Maka pada tahun 1981 yayasan monisa didirikan, dari susunan strukturnya terpancar optimisme bahwa lembaga tersebut akan sanggup melaksanakan amanah yang dibebankan kepadanya, karena sangat banyak tokoh intelektual dan pejabat publik pada masa itu terlibat dalam struktur, bahkan siapa saja yang menjadi Bupati Aceh Timur secara otomatis menjadi ketua yayasan.
Optimisme pun berbinar-binar dimata masyarakat Aceh khususnya penduduk peureulak sehingga satu persatu masyarakat yang tanahnya masuk dalam site plan monisa bersedia melepaskan tanah mereka dengan ganti rugi alakadarnya, sehingga dalam waktu singkat tanah seluas 122.292m2 yang terletak di desa Paya Meuligoe yang diyakini sebagai bekas kerajaan Peureulak berhasil dibebaskan oleh pengurus monisa.
Dukungan pemerintah pun terlihat sangat serius, setiap tahun Pemda Aceh Timur ikut menganggarkan dana untuk pembangunan situs bersejarah tersebut, dukungan masyarakat secara pribadi juga sangat antusias, pada tahun 1983 sebuah gedung serba guna yang menurut rencana akan dijadikan sekretariat monisa berhasil dibangun atas sumbangan H. Abu bakar Abdy.
Dalam bidang perencanaan, monisa membentuk tim khusus yang dikenal dengan tim 4  dipimpin oleh Ir. Abdul Hadi, cs. Dalam hal ini monisa telah menyiapkan denah yang sangat detail di lokasi monisa mulai dari bangunan induk yang merupakan gedung yang sangat apik dan indah, dilengkapi  dengan komplek pendidikan mulai dari TK hingga perguruan tinggi, juga ada dayah tradisional untuk melestarikan ciri khas budaya Aceh, maket rumah yang berciri khas budaya dari berbagai negara ASEAN,  maket rumah adat dari berbagai suku di Indonesia, ada kolam Nurul A’la, pemandian air panas, danau Banta Amat, taman bunga dan lain-lain, bahkan mereka sudah membuat sebuah maket monumen yang sangat indah, maket tersebut sering dipajang pada acara-acara pameran dan sering menimbulkan decak kagum pengunjung atas keindahannya.
Secara historis Aceh sangat layak untuk memiliki monumen tersebut, kalau saja hal itu betul-betul dapat diwujudkan maka Aceh akan kaya dengan berbagai monumen berkelas internasional seperti Monumen Tsunami, Monumen Perdamaian, dan tentu saja Monumen Islam Asia Tenggara.
Namun sangat disayangkan setelah melewati waktu yang sangat lama monumen Islam yang menjadi harapan masyarakat Aceh terutama masyarakat Peureulak yang telah rela mewakafkan tanah mereka untuk proyek tersebut tak kunjung tiba.
Sebuah gedung serba guna yang pernah dibangun 25 tahun silam, kini tak terurus dan telah menjadi bak kandang sapi, maket monisa yang sering menjadi bahan pameran kini telah rusak dan hilang entah kemana.
Permasalahan
Kini setelah 28 tahun berlalu, generasi telah berganti, sebagian orang yang turut serta memperjuangkan monisa telah satu persatu menghadap Ilahi. Mungkin sebagian lagi masih ada yang diberi umur oleh Allah swt sehingga sempat membaca tulisan ini. Namun sayup-sayup gema monisa lenyap ditelan zaman.
Saksi-saksi persitiwa seminar itupun hampir lenyap, sebuah gedung di komplek pertamina yang dulunya menjadi tempat seminar telah kusam, dan nyaris tak terurus lagi, yang tinggal kini hanya tanah kosong seluas 12 hektar di Paya Meuligoe yang merupakan wakaf masyarakat, beberapa plang nama pada simpang jalan di Peureulak dan beberapa makam tua yang diklaim sebagai raja.
Banyak orang yang bertanya-tanya apa sebab pembangunan monisa gagal di tengah jalan. Sebelum pertanyaan itu dijawab oleh yang berkompeten, penulis mencoba menganalisa beberap sebab yang menghambat atau memperlambat pembangunan monisa tersebut.
Sebagian analisa disini merupakan hasil kajian dan pembahasan bersama pengurus monisa yang baru yang mulai bertugas pada tahun 2008, permasalahan tersebut antara lain:
1. Kebanyakan pengurus monisa adalah birokrat dan pejabat publik, sehingga tidak fokus dalam masalah monisa, sejak pertama didirikan ketua harian monisa adalah Bupati Aceh Timur, siapa saja yang menjadi bupati dialah yang menjadi ketua monisa.
Hal itu menjadi salah satu faktor terlambatnya pergerakan monisa karena bupati dengan kesibukannya tentu saja sangat sedikit waktu untuk mengurus hal seperti itu.
Menyadari banyaknya kendala struktural di tubuh yayasan, maka pada tahun 2008 dilakukan revisi pengurus secara total dengan melibatkan lebih banyak pihak yang umumnya merupakan tokoh muda, juga merangkul tokoh-tokoh dari luar Aceh Timur sehingga kesan ekslusifisme monisa dapat dihilangkan.
2. Tidak dilakukan penggalian arkeologi secara mendalam pada lokasi yang diyakini sebagai bekas kerajaan Peureulak, sejauh ini keyakinan bahwa Peureulak sebagai kerajaan Islam Pertama di Asia Tenggara didapati dari literatur baik lokal maupun asing seperti Marcopolo. Namun, lokasi kerajaannya secara persis masih bersumber dari informasi lisan masyarakat setempat.
Penggalian nisan pernah dilakukan sebelum seminar diadakan dengan menghadirkan Tgk. H. Abdullah Ujong Rimba yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Namun penggalian yang dilakukan beliau perlu dikuatkan lagi oleh arkeolog sehingga hasilnya betul-betul dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Sebelumnya Ketua Lembaga Dinas Purba kala Pusat Jakarta Drs. Hasan Ma’arif Ambary telah hadir di Peureulak dan ikut dalam seminar tahun 1980 bahkan menyampaikan makalah dengan judul: bangun dan berkembangnya Islam di Peureulak ditinjau dari segi arkeologi.
Akan tetapi kedatangan beliau ke Peureulak hanya sekedar meninjau lokasi bekas kerajaan bukan untuk melakukan penggalian, sehingga dalam makalahnya beliau merekomendasikan supaya dilakukan penelitian arkeologi yang lebih mendalam lagi di masa yang akan datang.
Rekomendasi tersebut sampai saat ini belum dilakukan. Sebagian tokoh masyarakat di kawasan Paya Meuligoe meyakini dari hasil penggalian nisan yang dilakukan oleh Tgk. H. Abdullah ujong Rimba, terdapat tulisan Abdul Aziz pada nisan tersebut.
Tulisan itu telah tertanam ke dalam tanah sehingga tidak dapat dibaca lagi, penulis pun sudah melihat foto nisan tersebut setelah diangkat dari makam, namun masih meragukan kebenaran informasi tersebut.
Untuk memastikan pernyataan itu pengurus monisa yang baru, mengundang beberapa orang pakar untuk melakukan kajian langsung terhadap makam dan nisan yang diyakini milik  sultan Said Maulana Abdul Aziz Syah. Penggalian dilakukan pada tanggal 17 Agustus 2008 dibawah pimpinan arkeolog muda Aceh, Dedi Satria.
Setelah nisan digali sampai ke akarnya tidak juga ditemukan nama sebagaimana yang diharapkan, walau demikian arkeolog tersebut mengakui kalau nisan itu telah  berumur lebih dari 800 tahun.
Penggalian arkeologis sangat diperlukan untuk menyatakan pada dunia tentang keabsahan historis suatu situs bersejarah, sehingga tidak menimbulkan kesalahan di masa yang akan datang.
3. Kebanyakan penulis sejarah termasuk Prof. Ali Hasjmi sering mengutip kitab Idharul Haq Fi Mamlakatil Firlak Wal Fasi, karya Abu Ishak Al-Makarani sebagai rujukan, karena disana mengandung sejarah Peureulak dan silsilah raja-rajanya.
Bahkan lembaran lepas dari kitab tersebut yang berisi silsilah raja peureulak sempat dibawa ke tempat seminar di Kuala Simpang pada tahun 1980. Foto copy lembaran itu juga ada sama penulis, namun lebih dari itu belum ada kabarnya.
Dalam dokumen monisa dituliskan, kitab itu secara utuh berada pada seorang warga Peunaron yang bernama pang Akob atau Lebai Akob. Setelah dilakukan penelusuran, ternyata yang bersangkutan telah meninggal dunia dan kitab itu belum ada kabarnya dimana.
Seorang budayawan Aceh Nab Bahany As mengakui pernah melihat kitab tersebut di simpang balik Aceh Tengah pada tahun 1980-an sedang diterjemahkan oleh Teungku Adu atau Kek Adu yang berasal dari Matang Rubek Aceh Utara.
Lalu pada tanggal 18 Agustus 2008 kami bersama pengurus monisa pergi ke Matang Rubek untuk mencari orang yang disebutkan oleh Teungku Nab Bahany. Sama halnya dengan Lebai Akob, Teungku Adu tersebut juga telah lama meninggal dunia.
Pencarian ke pustaka-pustaka juga sudah dilakukan, termasuk ke museum Aceh dan Museum Ali Hasjmi. Hingga kini belum ada yang bisa menunjukkan kitab yang  menjadi juru kunci sejarah Peureulak tersebut, sehingga berbagai informasi penting tentang sejarah Peureulak dan silsilah raja-rajanya masih menjadi misteri. Semoga bagi siapa saja yang  menyimpannya bisa berbagi dengan yang lain demi kemaslahatan sejarah Aceh.
4.  Sebagian sejarah ada yang berbau mitos, hal itu lumrah terjadi dimana saja apalagi jika sejarah itu tidak didokumentasikan dengan jelas. Umumnya masyarakat kita menyampaikan sejarah kepada generasi berikutnya melalui lisan sehingga akurasi data makin lama makin berkurang atau malah hilang sama sekali.
Demikian halnya dengan kisah tentang kerajaan Peureulak, kebanyakan masyarakat hanya mendengarnya lewat hikayat, syair, dan cerita orang-orang tua.
Dalam konteks monisa, sebagian besar informasi tentang sejarah Peureulak seperti kisah Nurul A’la, Banta Amat, Nurul Qadimah dan raja-raja bersumber dari cerita orang tua-tua, sehingga akurasi datanya berkurang apalagi cerita itu sudah diwariskan oleh beberapa generasi sehingga berbagai modifikasi bisa saja terjadi dalam penyampaiannya.
Demikianlah, apapun rintangannya kita tertantang untuk membuktikan jejak sejarah bangsa kita, secara historis penulis sepakat dengan kesimpulan seminar tahun 1980 bahwa Islam telah masuk ke Aceh  pada abad pertama hijriah tepatnya di Peureulak.
Hal terpenting menurut penulis saat ini adalah melakukan pembuktian arkeologis pada lokasi sejarah tersebut. Untuk seterusnya baru dilanjutkan dengan pembangunan monumen, supaya tidak adanya bongkar pasang pada bangunan yang dibangun, di tempat yang tidak seharusnya.
Semoga pengurus monisa yang baru mampu melakukan tahapan yang benar dalam membangun monisa ke depan sehingga kita tidak terperosok ke lobang yang sama di masa yang akan datang.


di atas adalah gambaran tentang keadaan Monumen Islam Asia tenggara.......

 mungkin kita akan bertanya-tanya mengapa Peureulak adalah termasuk Kota Suci Peureulak ? padahal yang kita ketahui kota Suci bagi Umat Islam Asia Tenggara adalah Kota Mekkah dan Madinah di Arab Saudi....
mungkin kita akan bertanya-tanya siapa yang telah menyebarkan dan memperkenalkan Islam di Aceh, sejarah yang kita tahu dari Buku-buku sejarah, Islam di bawa oleh Para pedagang dari Gujarat (GUjarat) Atau bangsa Arab  bahkan ada juga yang beranggapan bahwa Islam Masuk Ke Aceh Di bawa oleh Bangsa Farsi atau persia.. namun yang jelas Islam di Bawa Ke Peureulak oleh Keturunan Rasulullah yang Suci.....  pada abad pertama Hijriah.


Seperti telah Di jelaskan Di Atas bahwa Raja Islam Pertama Asia Tenggara adalah Sulthan Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah Bin Muhammad Ad Diqai Bin Muhammad Al Mujtaba Bin Jakfar Shadiq (Imam Ke enam Kaum Syiah Imamiyah) Bin Muhammad Al Baqir (Imam Ke Lima Kaum Syi'ah Imamiyah) Bin Ali Zainal Abidin (Imam ke Empat Syi'ah Imaiyah) bin Husain Assyahid bin Rasulullah (Imam Syiah Imamiyah ke Tiga) Melalui perkawinan Ali Al Murthada (Imam Pertama Syiah Imamiyah) dengan Putri Rasulullah Sayyidah Fathimah Azzahra.

pada Tahun 2010 yang lalu seorang Ulama Besar Iran Ayatullah Muhammad Jawad Al Marwi beserta Rombongan Menziarahi Makam Raja Islam Pertama Asia Tenggara dan Beliaulah yang telah memberi Gelar sebagai Kota Suci Peureulak khusus Asia Tenggara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar